Total Tayangan Halaman

Rabu, 24 November 2010

Hukum Membaca Sayyidina

HUKUM MEMBACA SAYYIDINA
Oleh: Buhari Muslim
(Mahasiswa Tafsir Hadis Khusus)
Para ulama  terdahulu telah berbeda pendapat mengenai hukum membaca Sayyidina ketika bersalawat kepada Nabi saw. Padahal dari segi kedalaman ilmu, tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad mereka. Dan tentunya juga menghargai orang yang mengikuti fatwa mereka, di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.
Adapun shalawat yang diajarkan oleh Nabi saw. ketika sahabat menanyakan cara bershalawat kepada beliau. Sebagaimana digambarkan dalam hadis riwayat Muslim berikut;
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّىَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُولُوا  اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.                                     
Artinya: Dari Abu Mas’ud al- Anshari ia berkata; Rasulullah saw. mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah swt. Memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?. Abu Mas’ud al- Anshari berkata; Rasulullah saw. diam sehingga….kemudian Rasulullah saw. bersabda; Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.       
Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.
A.    Dasar Hukum Dari Al- Qur’an
Dalam al- Qur’an Allah swt. melarang memanggil Rasul saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذاً فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ .
Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.           (QS. al- Nur: 63).
Kata kamu dalam ayat di atas adalah ditunjukkan kepada sahabat Nabi Muhammad saw., ayat tersebut dapat kita tafsirkan bahwa jangan kamu memanggilkan Nabi Muhammad saw. sama dengan kamu memanggil temanmu.
Mujahid dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.
Dalam surah yang lain Allah swt. menyebut Nabi Yahya dengan Sayyid (menjadi ikutan), firman Allah;
فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَـى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيّاً مِّنَ الصَّالِحِينَ                                       
Artinya: Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariyah, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di Mihrab; (katanya), “sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat[1] (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang shaleh”. (QS. Ali Imran: 39).
Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as. dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad saw. juga sangat pantas mendapat gelar itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. di hari kiamat bahkan beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Karenanya warga An Nahdlah menggunakan kata Sayyidina dalam shalawatnya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.
B.     Dasar Hukum Dari Hadis
1.      Hadis Dari Rifa’ah bin Rafi’
Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat-kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ .
Artinya: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.
a.      Menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur (yang tidak berasal dari Nabi saw.) di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi saw).
b.      Boleh mengeraskan suara zikir selama tidak mengganggu orang yang ada di dekatnya.
c.      Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan               al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh.[2]
Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat. Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak bertentangan sama sekali. Dalam hadis shahih Nabi saw. bersabda;
انَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ .        
Artinya: Saya adalah pemimpinnya manusia pada hari kiamat.               (HR. Bukhari, Muslim dan al- Tirmidzi).
2.      Penambahan Lafaz Talbiyah
Umar bin al- Khaththab ra. menambahkan lafaz talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Adapun talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. adalah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
Namun, Umar ra.  menambahkan, sebagai berikut;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِى يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Dalam riwayat al- Nasai bahwa Ibn Umar menambahkan sebagaimana lafaz yang tertera di atas.
3.      Penambahan Lafaz Tahiyat
            Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat dalam shalatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya.
Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah;
...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….

…Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).                                                                                                      
Hadis kedua dan ketiga di atas menunjukkan kebolehan munyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan syari’at.
C.    Dasar  Hukum Dari Dalil Aqli
Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود) jika Dimuta’addikan,[3] menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin. Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi saw. maka itu sama halnya dengan; memuliakan,  menghormati dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu kesalahan?. Semua umat Islam mungkin akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas untuk dilakukan yaitu mengawali nama Rasulullah saw. dengan kata Sayyid.
Adapun dengan hadis yang mengatakan bahwa,
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ .
Artinya: Janganlah mensayyidkan aku dalam shalat.            
Hadis tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqhi di antaranya dalam kitab al- Fatawa al- Fiqhiyyah al- Kubra (الفتاوى الفقهية الكبرى) , bab, Shifatu al- Shalah (صفة الصلاة). Tapi, Ulama telah mengomentari bahwa hadis tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’ atau palsu. Salah satu alasanya adalah  karena hadis tersebut mengandung Lahn,[4] lafaz Latusayyiduni (لا تسيدونى), menyalahi kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا تسودونى). Sedangkan Nabi saw. sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafaz yang salah (mengandung lahn).
Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina sebelum nama Nabi saw. adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu merupakan adab kesosopanan terhadap Rasulullah saw. bahkan ini adalah pendapat yang telah diakui dan dipercayai.
Dalam adab kita sendiri rasanya sangat jauh dari tata kesopanan jika memanggil orang-orang yang terhormat dengan panggilan tanpa diikut sertakan dengan gelarnya atau panggilan penghormatan menurut adat setempat. Misalnya, Daeng menurut adat Makassar, Puang menurut adat Bugis, kiai bagi ulama menurut adat Jawa dan lain-lain.
Wallahu A’alam



[1] Maksudnya membenarkan kedatangan seorang Nabi yang diciptakan dengan kalimat Kun (jadilah) tanpa bapak, yaitu Nabi Isa as.
[2] Ibn Hajar, Fathu al- Bari, jild. II, h. 287
[3] Dalam bahasa Arab Fi’il (kata kerja) terbagi dua a. Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. b. Fi’il Muta’addi adalah Fi’il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
[4] Mengandung Lahn maksudnya menyalahi kaidah sharaf yang telah dikenal oleh orang Arab .

Senin, 01 November 2010

Memahami Kandungan Hadis Dihubungkan Dengan Fungsi Nabi saw.

Kandungan Hadis dihubungkan dengan
Fungsi Nabi Muhammad saw.
Oleh: Buhari Muslim
(Mahasiswa Tafsir Hadis Khusus)

Sebagian ulama mengatakan bahwa contoh hadis Nabi yang berhubungan dengan fungsi Nabi sebagai Rasulullah adalah berbagai penjelasan Nabi terhadap kandungan al- Qur’an, pelaksanaan ibadah, dan penetapan halal dan haramnya sesuatu. Meskipun menyangkut halal dan haramnya sesuatu masih diperselisihkan oleh para ulama.
Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, ulama menetapkan kesepakatan bahwa wajib mematuhinya.[1] Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi sedang kapasitasnya sebagai seorang  kepala Negara dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan perang dan pemungutan dana baitul mal, kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum.[2]
Menurut Mahmud Syaltut, mengetahui tingkah laku Nabi saw. dengan mengaitkan fungsi Nabi tatkala beliau lakukan sangat besar manfaatnya. Ulama yang pertama kali memahami kandungan hadis Nabi dengan menghubungkan dengan fungsi Nabi saw. adalah Imam  Syihab al- Qarafi (w. 694 H). Al- Qarafi melakukan kajian tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah saw beserta perbedaan kondisinya antara beliau sebagai pemimpin , hakim, dan sebagai pembawa ajaran dari Allah swt. Hal ini berpengaruh pada keumuman hukum dan kekhususannya serta universalnya atau temporalnya.[3] 
Klasifikasi hadis Nabi menurut fungsi-fungsi Nabi tatkala hadis itu dikemukakan memang tidak mudah disusun, tetapi perlu dilakukan. Insya Allah berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh hadis yang dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw.
1.      Sebagai Rasulullah saw.
Dalam memahami hadis Nabi saw. seorang pencinta hadis harus memahami dan meneliti hadis Nabi tersebut,  apakah hadis itu ketika diucapkan, beliau berkapasitas sebagai Nabi atau Rasul?. Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan tapi sangat dibutuhkan dalam memahami hadis-hadis Rasulullah saw. Karena Nabi adalah manusia layaknya manusia yang lain tentunya memiliki sifat sebagaimana manusia umumnya, yang terkadang keliru dalam mengambil sebuah kebijakan mengangkut masalah keduniaan. Hal ini tergambar dalam sabda beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “bahwasanya Ummu Salamah ra., istri Nabi saw, memberitakan dari Rasulullah saw. bahwasanya beliau mendangar pertengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau keluar menemui mereka, kemudian beliau bersabda:
  إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق فأقضي له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو فليتركه
Artinya: Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya). Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih mampu (berargume) daripada yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa sungguh dia yang benar,  lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya dengan (mengambil) hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya.
Penulis akan kemukakan beberapa hadis mengenai suatu hadis ketika disabdakan beliau berkapasitas sebagai Nabi dan Rasul. Diantaranya sebagai berikut :
a.     Keistimewaan Nabi saw.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: فضلت على الأنبياء بست أعطيت جوامع الكلم ونصرت بالرعب وأحلت لي الغنائم وجعلت لي الأرض طهورا ومسجدا وأرسلت إلى الخلق كافة وختم بي النبيون .
Artinya: Dari Abu hurairah R.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Aku diberikan keutamaan oleh Allah Swt di atas para Nabi lainnya dengan enam hal: Aku dibekali jami’    al- kalim (kemampuan untuk berbicara singkat namun mengandung makna yang padat/luas). Aku ditolong oleh Allah Swt dengan rasa takut, cemas dan gelisah di hati musuh- musuhku. Ganimah (harta rampasan perang) dijadikan halal untukku. Bumi dijadikan masjid bagiku, dan tanahnya suci untuk bersuci. Aku diutus kepada semua makhluk (jin dan manusia) pada umumnya. Dan aku dijadikan sebagai penutup/ pengakhir para Nabi.
Hadis lain;
أخبرنا جابر بن عبد الله: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال (أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي نصرت بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا فأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل وأحلت لي المغانم ولم تحل لأحد قبلي وأعطيت الشفاعة وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس عامة(
Artinya : Jabir bin Abdullah telah menceritakan bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : “Saya dikaruniai (oleh Allah) lima hal,yang belum pernah dikaruniakan kepada selain saya. Saya ditolong (dalam peperangan,sehingga ) perasaaan musuh (dalam peperangan) menjadi gentar (menghadapi saya) dalam masa peperangan yang memakan waktu sekitar sebulan; bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan suci bagi saya dan karenanya, siapa saja dari ummatku yang mendapatkan waktu shalat,maka hendaklah dia shalat (di bumi mana saja dia berada); dihalalkan bagi saya harta rampasan perang, sedang sebelum saya harta tersebut diharamkan; saya dikaruniai kemampuan memberi syafa`ah; dan Nabi (sebelum saya) dibangkit untuk kaum (bangsa) tertentu, sedangkan saya dibangkit untuk manusia secara umum (seluruhnya).
Secara tekstual kedua hadis tersebut memberi informasi tentang keutamaan Nabi Muhammad saw. dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya. Pernyataan itu bersifat universal. Nabi Muhammad tatkala menyampaikan pernyataan  itu berada dalam kapisitasnya sebagai Rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata didasarkan atas petunjuk wahyu Allah. Pertimbangan yang demikian itu tidaklah berarti bahwa dalam fungsi Nabi saw.sebagai rasulullah, pertimbangan rasio tidak dikenal sama sakali.[4] Dengan demikian, salah satu indikator sebuah hadis Nabi dinyatakan oleh Nabi Saw. Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah adalah hadis bersangkutan tidak mungkin atau sulit didasarkan atas pertimbangan rasio, tetepi semata-mata atas petunjuk wahyu Allah.
b.      Hadis Tentang Para Pelukis
حدثنا الحميدي حدثنا سفيان حدثنا الأعمش عن مسلم قال كنا مع مسروق في دار يسار بن نمير فرأى في صفته تماثيل فقال سمعت عبد الله قال: سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول (إن أشد الناس عذابا عند الله يوم القيامة المصورون).
Artinya :“(Hadis riwayat) dari Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah saw. telah bersabda : “sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).                                             
             Berbagai hadis Nabi yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk bernyawa itu dinyatakan dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah. Dikatakan demikian , tegasnya , karena dalam hadis itu dikemukakan berita  tentang nasib masa depan para pelukis dihari kiamat kelak.dengan demikian,hadis yang mengandung berita masa depan dihari kiamat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator sebuah hadis dinyatakan oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah.[5]                                                                                                  
             Dalam realitas kehidupan sekarang ini banyak ditemukan rumah-rumah yang dihiasi dengan lukisan dan patung yang bernyawa baik di dalam maupun dihalaman rumah bahkan di bangunan kota dan fasilitas umum lainnya. Keadaan seperti ini menjadikan seni lukis sebagai kebutuhan hidup di era modern yang tidak bisa terhindarkan. Pada Ilmu Kedokteran, Georafi, Biologi, Fisika dan lain-lain sangat diperlukan. Ketika merespon hadis Nabi tersebut mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok yang melarang lukisan secara mutlak. Kelompok kedua, kelompok yang membolehkan lukisan secara mutlak. Kelompok pertama memahami hadis tersebut secara tekstual. Sedangkan kelompok kedua memahami hadis tersebut Musykil di era modern ini serta bertentangan dengan rasio dan nalar karena tidak akomodatif terhadap perkembangan zaman padahal ajaran Islam cocok untuk semua zaman dan tempat.                                                                                                                                                 
             Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas cukup banyak pendukungnya.karena,cukup banyak hadis nabi yang melarang pembuatan dan pemajangan lukisan yang bernyawa (manusia dan hewan) dan karenanya pula para pelukis muslim zaman klasik mengarahkan karya-karya lukis mereka kedalam bentuk kaligrafi, objek tumbuh-tumbuhan dan pemandangan alam.[6]                                                                                                                     
             Hadis tersebut sangat terkait dengan pratek keagamaan masyarakat pada saat hadis itu disabdakan. Pada saat itu, masyarakat belum terlepas dari kepercayaan Animisme dan Politeisme (mensyerikatkan Allah), yakni penyembahan terhadap patung dan semacamnya. Dalam kapasitas Nabi sebagai Rasul, Nabi berusaha keras agar masyarakat Islam terlepas dari kemusyrikan atau pratek keagamaan yang menyesatkan itu. Salah satu yang ditempuh adalah mengeluarkan larangan memprodusi dan memajang lukisan atau patung makhluk yang bernyawa. Jika tidak dikeluarkan larangan seperti itu, maka akan sulit melepaskan kepercayaan lama. Jadi, hadis ini sebenarnya secara antropologis disabdakan dalam kondisi masyarakat transisi dari kepercayaan animisme dan politeisme kepercayaan monoteisme, dari watsaniyyah ke tauhid, sehingga perlu adanya larangan secara keras terhadap pratek yang sangat potensial dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan.[7]                                                                                                                                      
             Kalau ‘illat al-hukum-nya demikian , maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan , khususnya dalam bentuk penyembahan dalam lukisan , membuat dan memajang lukisan diperbolehkan . Kaidah ushul fiqih menyatakan:                     
الحكم يدور مع العلة ؤجودا وعدما                  
Artinya:  “Hukum itu berputar pada ‘illatnya, keberadaan dan ketiadaannya”.                                              Maksudnya, hukum itu ditentukan oleh ‘illatnya, bila ‘illatnya ada, maka hukumnya tetap ; dan bila ‘illatnya tidak ada, maka hukumnya pun berubah.
             Pemahaman secara kontekstual, dapat saja menimbulkan ekses. Misalnya, lukisan di lukis pada saat masyarakat berkeyakinan bahwa menyembah patung adalah musyrik. Di tempat lain atau tatkala sikap masyarakat telah berubah , lukisan itu lalu disembah oleh orang . kalau yang demikian itu terjadi, maka apakah pelukisnya terlepas dari tanggung jawab atas penyembahan terhadap lukisannya itu? yang salah memang orang menyembah lukisan tersebut , tetapi bagaimana pun juga sang pelukis tidak dapat mengelak dari tanggung jawab.[8]                             
Dalam kasus di atas , sulit menghindari pemahaman tekstual , meskipun ada jalan untuk memahaminya secara kontekstual. Dengan demikian, hadis Nabi yang dinyatakan dalam kedudukan beliau sebagai  Rasulullah , di samping dapat dipahami secara tekstual juga dapat dipahami secara kontekstual.[9]
2.      Sebagai Kepala Negara atau Pemimpin Masyarakat
Dalam kehidupan bernegara, kehadiran seorang pemimpin adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga berbagai stabilitas baik politik, ekonomi, keamanan, maupun sosial. Karenanya, setiap negara memiliki aturan tentang persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin. Menyangkut masalah kepemimpinan, Nabi saw selaku sebagai kepala negara sangat memperhatikan masalah kepemimpinan. Nabi saw  mengharuskan orang-orang mukmin agar taat pada pemimpin walaupun pemimpin tersebut dari budak Habsyi. Nabi juga mensyaratkan agar yang menjadi pemimpin adalah dari suku Quraisy. Hadis tentang kepemimpinan dari suku Quraisy dapat ditemukan dalam kitab hadis yang diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari,[10] Imam Muslim,[11] Imam al- Tirmidzi,[12] dan Imam Ahmad bin Hanbal.[13]Sebagaimana hadis berikut;
a.       Hadis dari Abdullah bin Umar, berbunyi:       
عن ابن عمر رضي الله عنهما: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال :لا يزال هذا الأمر في قريش ما بقي منهم اثنان.
Artinya: Dari Abdullah bin Umar , Rasulullah SAW . bersabda :”Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang  saja.  (HR.Bukhari, Muslim,dan Ahmad).
b.      Hadis dari Anas bin Malik, berbunyi:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كُنَّا فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَجَاءَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ فَأَخَذَ ، بِعِضَادَتيِ الْبَابِ ، فَقَالَ : الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ ، وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ ، وَلَكُمْ مِثْلُ ذَلِكَ ، مَا إِذَا اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا ، وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا ، وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَّوْا ، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ ، وَالْمَلاَئِكَةِ ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
Artinya: Anas berkata: kami berada di rumah salah seorang sahabat Anshar, Nabi saw datang dan berhenti kemudian memegang tiang pintu lalu bersabda: “ para pemimpin itu adalah dari suku Quraisy, mereka memiliki hak atas kamu dan kamu memiliki hak yang sama. Ketika kamu meminta belas kasih, mereka (memberi) belas kasih. Ketika mereka memerintah, mereka adil, dan ketika mereka berjanji, mereka menepati. Barangsiapa dari mereka yang tidak berbuat demikian maka laknat Allah dan Malaikat serta seluruh manusia. (HR. Ahmad).
Apabila kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapat dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan , Nabi berada dalam fungsinya sebagai kepala Negara atau pemimpin masyarakat, yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial ,sangat mengutamakan suku Quraisy. Hal itu tidak sejalan dengan , misalnya, petunjuk Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling utama di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Mengutamakan suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang di bawa oleh Nabi. hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal .
Menurut Ibnu Khaldum (732-808 H/1332-1406 M), hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya , melainkan kepada kemampuan dan kewibawaannya . Pada masa Nabi,orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy . Apabila suatu masa ada orang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin , maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin , termasuk kepala Negara.[14]
Hadis ini sebenarnya tidak musykil apabila dipahami dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sosiologi. Yang dimaksud dengan pendekatan bahasa adalah memahami hadis dengan melihat struktur bahasa yang terdapat pada hadis tersebut dan makana semantik Dalalahnya. Adapun pendekata sosiologi dalam pemahaman hadis tersebut adalah memahami hadis Nabi ini dengan memperhatikan dan menguak realitas serta seting sosial pada saat hadis tersebut disabdakan. Tapi jangan pula meninggalkan pendapat yang berkembang seputar pemahaman teks hadis.
Apabila dilihat dari struktur bahasa yang digunakan, maka bentuk dari hadis tersebut adalah hadis Ikhbar (informatif) dan tidak ada satupun hadis yang berbentuk perintah. Bentuk Ikhbar, meskipun mengandung pengertian tuntutan (thalab), tetapi tidak dianggap tuntutan secara pasti sepangjang tidak dibarngi dengan qarinah atau isyarat yang menunjukkan penegasan. Hadis-hadis yang ada tentang hal itu tidak disertai dengan qarinah apaun. Dengan semikian hadis-hadis tersebut menunjukkan perintah sunnah bukan perintah wajib.[15] Informasi ini menujukkan bahwa “sebaiknya” kepala negara itu dipilih dari suku Quraisy, sebab secara sosiologis, mereka adalah kaum yang berpengaruh, berwibawa dan cakap sehingga memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan khalifah pada waktu itu.
Makna dalalah tersebut juga didukung dengan materi hadis lain yang secara sosiologis, tidak menyuarakan unsur sektarian primordial, yakni hadis yang menyatakan keharusan orang-orang mukmin taat kepada pemimpin walaupun pemimpin tersebut dari budak Habsyi. Realitas empiris yang terjadi dalam kehidupan politik, Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin Rawahah, Zaid bin Haritsa, dan Usamah bin Zaid menjadi amir (pemimpin), padahal mereka bukan keturunan Quraisy.[16]
            Dengan demikian, pemahaman terhadap hadis yang dinyatakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat harus dipahami secara kontekstual.
3.      Sebagai Hakim
Adakalanya suatu hadis dinyatakan Nabi saw dalam kapasitas beliau sebagai hakim atau manusia layaknya manusia yang lain. Sebagai contoh adalah hadis Nabi tentang keterbatasan pengetahuan hakim, berbunyi:
   إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق فأقضي له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو فليتركها
Artinya: Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya). Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih mampu (berargumen) daripada yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa sungguh dia yang benar,  lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya dengan (mengambil) hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya. (HR. Jama’ah).
Hadis tersebut memberi petunjuk atas pengakuan Nabi saw sebagai manusia layaknya manusia umumnya dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi itu, Nabi mengaku memiliki kekurangan, mungkin saja dapat dikelabuhi oleh kepintaran pihak yang berperkara dalam mengemukakan argument-argumennya untuk memenangkan perkara. Walaupun, sesungguhnya apa yang dia katakan itu tidak benar. Dalam mengadili perkara, pengetahuan Nabi terbatas pada apa yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang berperkara berdasarkan bukti-bukti yang mereka ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai akibat dari kepintaran dari pihak yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang berhasil mengelabuhi Nabi tersebut.
Apa yang berlaku bagi hakim sebagaimana yang dikemukakan oleh Nabi saw. tersebut bersifat universal. Akan tetapi, keputusan yang ditetapkan oleh hakim disuatu segi mungkin bersifat universal, temporal, ataupun lokal, sedangkan di segi yang lain, keputusan hakim itu mungkin benar dan mungkin tidak benar. Dengan demikian, hadis Nabi tersebut dinyatakan oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai hakim.[17]
4.      Sebagai Pribadi
Dalam kapasitas beliau sebagai manusia layaknya manusia yang lain, banyak pernyataan Nabi saw, yang berkaitan dengan beliau ketika beliau menyabdakan hadis tersebut layaknya manusia umumnya. Contoh;
عن عباد بن تميم عن عمه: أنه رأى رسول الله صلى الله عليه و سلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه على الأخرى .

Artinya: Dari Ubad bin Tamin dari pamannya (Abdullah bin Zaid) bahwasanya dia telah melihat Rasulullah saw. Berbaring dalam mesjid sambil meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. (HR. Bukhari,Muslim, dan Ahmad).
Secara tekstual, hadis di atas menunjukkan bahwa cara Nabi Saw. Berbaring dalam posisi meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. Pada saat itu tampaknya Nabi sedang merasa nyaman dengan berbaring dalam posisi seperti yang digambarkan oleh hadis di atas, meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain.Perbuatan itu dilakukan oleh Nabi Saw. Dalam kapasitas beliau sebagai pribadi.
  Menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis itu terjadi, selain dimungkinkan juga sangat membantu untuk memahami kandungan petunjuk hadis Nabi secara benar. Hanya saja, usaha yang demikian itu tidak mudah dilakukan dan tidak mudah disepakati oleh ulama. Pada sisi lain, menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis itu terjadi menunjukkan bahwa tidak semua hadis Nabi dapat dipahami secara tekstual, tetapi kadang menghendaki pemahaman kontekstual. Itu berarti bahwa kandungan hadis Nabi ada yang bersifat universal,temporal, atau lokal.[18]
Wallahu A’alam








Penutup
Klasifikasi hadis Nabi menurut fungsi-fungsi Nabi tatkala hadis itu di memang tidak mudah disusun, tetapi perlu dilakukan.
Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, ulama menetapkan kesepakatan bahwa wajib mematuhinya. Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi sedang kapasitasnya sebagai seorang  kepala Negara dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan perang dan pemungutan dana baitul mal, kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum.


[1] Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, h. 33
[2] Mahmud Syaltut, al- Islam ‘Aqidah Wa Syari’ah, h. 509
[3] Arifuddin Ahmad, Paradigma Memahami Hadis Nabi, h. 177
[4] Syuhudi Ismail, Tekstual dan Kontekstual, h. 35
[5] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 180.
[6] Ibid.
[7] Nizar Ali, Hadis Versus Sains, h. 100-101.
[8] Syuhudi Ismail, Tekstual dan Kontekstual, h. 37-38
[9] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 182
[10] Al- Bukhari, Shahih al- Bukhari, juz. III, h. 1290
[11] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz. III, h. 1452
[12] Al- Tirmidzi, Sunan al- Tirmidzi, Juz. V, h. 23
[13] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz. III, h. 183
[14] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 183-184
[15] Taqiy al- Din al- Nabhani, Sistem Khalifah: Konsep  Dan Kepemimpinan Umat Islam Seluruh Dunia. Terjemahan Muhammad al- Khaththat (Jakarta: Khazanah Islam, 1995), h. 37
[16] Nizar Ali, Hadis Versus Sains, h. 94
[17] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 184-186
[18] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 186-187

Jumat, 29 Oktober 2010

Akal Dalam Perspektif Al- Qur’an

Akal Dalam Perspektif Al- Qur’an
Oleh: Buhari Muslim
(Mahasiswa TH Khusus Makassar)

Kata akal berasal dari bahasa Arab العَقْلُ  (dalam bentuk isim). Tetapi dalam al- Qur’an kata tersebut tidak disebutkan dalam bentuk isim hanya disebutkan dalam bentuk fi’il . Al- Qur’an \menyebutkan kata tersebut dalam bentuk fi’il madhi’  yaitu عَقَلُوْهُ  disebutkan hanya satu kali,[1] dalam bentuk fi’il mudhari’ تَعْقِلُوْنَ disebutkan sebanyak 24 kali,[2] نَعْقِلُ dan يَعْقِلُهَا disebutkan masing-masing sebanyak satu kali,[3] يَعْقِلُوْنَ disebutkan sebanyak 22 kali.[4] Kata-kata tersebut bermakna faham atau mengerti, dan berfikir. Sebagai contoh:
1- أَفَتَطْمَعُونَ أَن يُؤْمِنُواْ لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلاَمَ اللّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِن بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya: Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Al- Baqarah: 75).
2- أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Artinya: Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan? Sedang kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu membaca al- Kitab (taurat). Maka tidakkah kamu berfikir?.(Q.S. Al- Baqarah:44)
3- كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya: Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya. (Q.S. Al- Baqarah: 242).
4- أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
 Artinya: Apakah mereka tidak melakukan perjalanan dipermukaan bumi dan mereka tidak mempunyai kalbu memahami atau telinga untuk mendengar; sesungguhnya bukanlah mata yang buta tetapi kalbu di dalam dadalah yang buta. (Q.S. Al- Hajj: 46).
5- وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Artinya: Dan mereka berkata: sekiranya kami mau mendengar dan mau mengerti, tidaklah kami menjadi penghuni neraka. (Q.S. Al- Mulk: 10).
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Artinya: Demikianlah perumpamaan-perumpamaan yang kami buat bagi manusia, tetapi yang dapat memahaminya hanyalah orang-orang yang tau. (Q.S. Al- A’nkabut: 43).
Kata  عَقَلَberarti mengikat, mencegah dan menahan, maka tali pengikat serban yang biasa dipakai oleh orang Arab disebut dengan عِقَالٌ karena dipakai untuk mengikat serban agar tidak lepas, tali pengikat kaki binatang agar tidak lepas juga disebut dengan عِقَالٌ .
Dalam Lisan Al- A’rab kata العقل semakna dengan  الحِجْر yang berarti menahan, sehingga العاقل ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Makanya, antonim kata tersebut adalah الحِجْر yang berarti lemah pikiran atau naik darah karena marah. Lebih lanjut lagi kata عَقَلَ mengandung arti memahami dan arti inilah yang banyak dipakai oleh ulama khususnya Indonesia dalam menerjemahkan al- Qur’an.
Nampaknya arti asli dari kata عقلadalah mengikat dan menahan dan orang aqil dizaman jahiliyah, yang dikenal dengan  الحَنِيَّة yang berarti darah panas, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution, kata عقلdizaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical Intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem – solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan masalah dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah.[5]
Walaupun demikian kata عقل mengandung makna mengerti, memahami, dan berfikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pertangertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala? Dalam al- Qur’an, sebagamana telah dijelaskan diatas oleh ayat 46 dari surat al- Hajj, pengertian pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya: Sesunggbanyak kami ciptakan bagi neraka banyak jindan manusia; mereka mempunyai kalbu yang dengannya mereka mereka tidak melihat dan mempunyai telinga yang dengannya mereka tidak mendengar; mereka seperti binatang bahkan lebih sesat lagi; merekalah orang yang lalai. (Q.S. Al- A’raf: 179).
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاء رَضُواْ بِأَن يَكُونُواْ مَعَ الْخَوَالِفِ وَطَبَعَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya: Jalan untuk menyalahkan hanyalah trehadap orang yang minta izin padamu dan mereka orang kaya; mereka ingin berada dengan orang- orang yang tinggal; Allah telah menutup kalbu mereka sehingga mereka tidak dapat mengetahui (Q.S. At-Taubah: 93).
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya: Tidaklah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah kalbu telah terkunci. (Q.S.Muhammad: 24).
Ayat-ayat Al-Qur’an maupun uraian kamus yang diberikan di atas tidak menyebut bahwa akal adalah daya pikir yang berpusat di kepala. Al-‘aql malahan dikatakan sama dengan al-qalb yang berpusat di dada.
            Profesor Izutzu kelihatannya mempunyai alasan ketika mengatakan bahwa kata al-‘aql masuk dalam falsafat Islam dan mengalami probahan dalam arti. Dengan masuknya pengaruh falsafat yunani kedalam pemikiran Islam, kata Yunani nous.[6] Dalam falsafah Yunani nous mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan demikianpemahaman dan pemikiran tidak lagimelalui al- qalb di dada tetapi melalui al- ‘aql di kepala.
            Tidak mengherangkan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs atau al- ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al—ruh berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk kedalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh.
            Al-kindi (796-873 M), filosof Islam pertama, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya bernafsu (العقل الشهوانية) yang berada di perut, daya berani (القوة الغضبية) yang bertempatt di dada dan daya berfikir (القوة الناطقة) yang berpusat di kepala. Ibn Miiskawaih (941-1030 M), memberi pembahagian yang sama. Daya terendah adalah daya bernafsu (النفس البهيمية) dan daya tertinggi adalah daya berfikir (النفس الناطقة) Daya berani (النفس السبعية) mengambil posisi di antara keduanya. Jelas bahwa dalam pemiikiran Al-kindi dan Ibn Miskawaih ini kelihatan pengaruh plato.[7]
            Filosof-filosof lain juga member pembahagian yang berbentuk tiga, tetapi sebagai aristoteles, mereka menyebut bukan tiga daya, tetapi tiga jiwa, yaitu jiwa tumbu-tumbuhan (al-nafs al-nabatiah)  jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniah), jiwa manusia (al-nafs al-insaniah), ketiga macam jiwa ini terdapat dalam diri manusia. Masing-masing jiwa mempunyai daya tertentu. Perincian terbaik adalah yang di berikan Ibn sina (980-1037 M).
            Jiwa tumbu-tumbuhan mempunyai tiga daya : 1) daya makan (al- ghaziah), 2) daya tumbuh (al- munmiah), dan 3) daya membiak  (al- muwallidah).  Jiwa binatang memiliki dua daya : 1) daya penggerak (al- muharrikah) dan 2) daya mencerap (al- mudrikah).
            Daya penggerak bisa berbentuk nafsu (al- syahwah) serta amarah, (al- ghadab) dan bisa pula berbentuk gerak tempat (al-harkah al-makaniah). Daya mencerap terbagi dua, pertama, daya mencerap dari luar melalui pancaindra lahir, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman,perasaan lidah dan perasaan tubuh; kedua, daya mencerap dari dalam mlalui pancaindra batin, yaitu:
1.      Indera bersama ( al- his al- musytarak), bertempat dibahagian depan dari otak dan berfungsi menerima kesan-kesan yang diperoleh dari pancaindera luar dan meneruskannya ke indera batin berikutnya.
2.      Indera penggambar (al- khayal ).  Juga bertempat dibahagian depan dari otak. Tugasnya ialah melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya.
3.      Indera pengreka (al- mutakhayyilah ), yang brtempat di bahagian tengah dari otak, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan  dari materi itu dengan memisah-misah dan kemudian memperhubungkannya satu dengan yang lain.
4.      Indera penganggap (al-wahmiah), juga bertempat dibahagian tengah dari otak, mempunyai fungsi menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran itu.
5.      Indera pengingat (al-hafizah), yang bertempat dibhagian belakang dari otak, menyimpan arti-arti yang ditangkap indera penganggap.
Jika jiwa tumbu-tumbuhan dan jiwa binatang mempunyai lebih dari satu daya,jiwa manusia hanya mempunyai daya berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
1.      Akal praktis (‘amaliah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang.
2.      Akal teoretis (‘alimah ) yang menangkap arti-arti murni, arti yang tak pernah ada dalam materi, seperti tuhan roh dan malaikat.
Akal peraktis mmutuskan prhatian pada alam materi, menangkap kekhususan ( juz’iat atau particulars). Akal teoretis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia imateri dan menangkap keumuman (kulliat atau universals).  
Akal praktis, jika dihubungkan dengan nafsu binatang, akan menimbulkan rasa malu, sedih, dan sebagainya. Jika dihubungkan dengan daya penganggap dari indra batin binatang ia akan memperbedakan apa yang baik dari apa yang rusak dan akan menghasilkan kecakapan mencipta dalam diri manusia. Jika dihubungkan dengan akal teoretis ia akan menimbulkan pendapat - pendapat masyhur, seperti” berdusta adalah tidak baik”, “bersikap tidak adil adalah buruk”. Akal praktis harus mengontrol dan memimpin jiwa binatang, dan kalau ia berhasil dalam tugasnya, manusia bersangkutan akan mempunyai budi pekerti luhur. Pada akal praktislah bergantung timbulnya kebajikan atau kejahatan pada diri kejahatang.
Akal teoretis mempunyai empat derajat:
1.      Akal materi (al-‘aql al-hayulani), yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti yang takpernah berada dalam materi, belum keluar.
2.      Akal bakat (al-‘aql bi al- malakah), yaitu akal yang kesanggupannya berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan. Ia telah dapat menangkap pengertian dan kaedah umum, seperti seluruh lebih besar dari bahagian.
3.      Akal aktuil (al-‘aql bi al-fi’l), yaitu akal yang telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaedah umumdimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
4.      Akal perolehan (al- aql al-mustafad), yaitu akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali.
Akal dalam derajat ke-empat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosof dan akal inilah yang dapat memahami alam murni abstrak yang tak pernah ada dalam materi. Akal prolehan yang telah yang bergelimang dalam keabstrakan inilah yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui Akal yang sepuluh. [8]
            Yang dimaksud dengan akal yang sepuluhnyalah Akal-akal yang diciptakan tuhan melalui pancaran dalam falsafah emanasi Al-farabi. Tuhan berfikir tentang dirinya ; pemikiran merupakan daya, dandayapemikiran Tuhan Maha kuasa yang besar dan hebat itu menciptakan akal pertama. Akal pertama berfikir pula tentang Tuhan dan tentang dirinya sendiri; daya ini menghasilkan Akal kedua berfikir pula tentangtuhan dan tentang dirinya sendiri dan menghasilkan Akal ketiga dan bintang-bintang. Demikianlah seterusnya tiap akal berfikir tentang tuhan dan dirinyasendiri dan menghasilkan akal dan planet. Pemikiran akal ketiga menghasilkan akal keempat dan saturnus. Akal keempat menghasilkan akalkelima danyupiter. Akal kelima menghasilkan akal keenam dan mars. Akal keenam menghasilkan akal ketujuh dan matahari. Akal ketujuh menghasilkan Akal kedelapan Venus. Akal kedelapan menghasilkan akal kesembilan dan markuri. Akal kesembilan menghasilkan Akal kesepuluh dan dan bulan. Daya pemikiran akal kesepuluh sudah lemah untuk dapat menghasiklan Akal sejenisnya dan hanya sanggup menghasilkan Bumi. Tiap-tiap Akal yang berjumlah sepuluh itu mengatur pelanetnya masing-masing. Akal-akal ini adalah malaikat dengan Akal kesepuluh merupakan jibril yang mengatur bumi. Perlu diingat di sini bahwa falsafat emanasi disesuaikan dengan ilmu astronomi yang ada dizaman al- Farabi.
Kalau yang diurikan di atas adalah akala dalam pendapat kaum filosof Islam, maka kaum teolog islam mengartikan Akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu al-huzail Akal adalah “daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseoarang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda lain dan antara benda-benda satu dari yang lain”. Akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap pancaindra.
Di samping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk memperbedakan antara kebaikan dan kejahatan. Akal, dengan kata lain, terutama bagi kaum mu’tazilah, mempunyai fungsi dan tugas moral. Sejalan dengan ini L. Gardet dan M.M Anas watimenerangkan bahwa akal, dalampendapat mu’tazilah, adalah “ petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta”.
            Akal, dalam pengertian Islam, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; yang sebagai digambarkan dalam Al-Quur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan Alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan, dari luar diri manusia yaitu dari Tuhan.          






Pendapat penulis
Dalam al- Qur’an kata العقل disebutkan dalam bentuk term fi’il bukan dalam bentuk term isim. Menurut ulama bahasa term Fi’il maknanya terputus atau terikat dengan waktu (للإنقطع), sedangkan Isim tidak terikat oleh waktu dan tempat atau maknanya berkesinambungan (للإستمرار). Dengan demikian, bagaimanapun hebatnya akal pikiran manusia pasti memiliki keterbasan dan kebenaran yang dihasilkannya tidak mutlak atau relatif. Makannya, si A mengemukakan pendapatnya dan ia meyakini akan kebenarannya tapi si B belum tentu akan sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh si A. Sedang si B, pasti mengatakan benar apa yang ia kemukakan. Inilah kebenaran akal sebagaimana yang diindikasikan oleh al- Qur’an dengan menggunakan term Fi’il. وما أوتيت من العلم الا قليلا   “tidaklah Aku berikan (kepada manusia) ilmu kecuali sedikit”. (al- Ayat).

والله اعلم
    









[1]Muhammad Fuad A’bdul Baqi, Mu’jam al- Mufahras Li Alfazhi al- Qur’an al- Karim, h. 594
[2] Ibid, h. 594-595
[3] Ibid, h. 595
[4] Ibid, h. 595
[5] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, h. 7
[6] Ibid, h. 8
[7] Ibid, h. 9
[8] Isa Al- Babi Al- Halabi, Amwal Al- Nafs, h. 145