Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 Oktober 2010

Akal Dalam Perspektif Al- Qur’an

Akal Dalam Perspektif Al- Qur’an
Oleh: Buhari Muslim
(Mahasiswa TH Khusus Makassar)

Kata akal berasal dari bahasa Arab العَقْلُ  (dalam bentuk isim). Tetapi dalam al- Qur’an kata tersebut tidak disebutkan dalam bentuk isim hanya disebutkan dalam bentuk fi’il . Al- Qur’an \menyebutkan kata tersebut dalam bentuk fi’il madhi’  yaitu عَقَلُوْهُ  disebutkan hanya satu kali,[1] dalam bentuk fi’il mudhari’ تَعْقِلُوْنَ disebutkan sebanyak 24 kali,[2] نَعْقِلُ dan يَعْقِلُهَا disebutkan masing-masing sebanyak satu kali,[3] يَعْقِلُوْنَ disebutkan sebanyak 22 kali.[4] Kata-kata tersebut bermakna faham atau mengerti, dan berfikir. Sebagai contoh:
1- أَفَتَطْمَعُونَ أَن يُؤْمِنُواْ لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلاَمَ اللّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِن بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya: Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Al- Baqarah: 75).
2- أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Artinya: Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan? Sedang kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu membaca al- Kitab (taurat). Maka tidakkah kamu berfikir?.(Q.S. Al- Baqarah:44)
3- كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya: Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya. (Q.S. Al- Baqarah: 242).
4- أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
 Artinya: Apakah mereka tidak melakukan perjalanan dipermukaan bumi dan mereka tidak mempunyai kalbu memahami atau telinga untuk mendengar; sesungguhnya bukanlah mata yang buta tetapi kalbu di dalam dadalah yang buta. (Q.S. Al- Hajj: 46).
5- وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Artinya: Dan mereka berkata: sekiranya kami mau mendengar dan mau mengerti, tidaklah kami menjadi penghuni neraka. (Q.S. Al- Mulk: 10).
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Artinya: Demikianlah perumpamaan-perumpamaan yang kami buat bagi manusia, tetapi yang dapat memahaminya hanyalah orang-orang yang tau. (Q.S. Al- A’nkabut: 43).
Kata  عَقَلَberarti mengikat, mencegah dan menahan, maka tali pengikat serban yang biasa dipakai oleh orang Arab disebut dengan عِقَالٌ karena dipakai untuk mengikat serban agar tidak lepas, tali pengikat kaki binatang agar tidak lepas juga disebut dengan عِقَالٌ .
Dalam Lisan Al- A’rab kata العقل semakna dengan  الحِجْر yang berarti menahan, sehingga العاقل ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Makanya, antonim kata tersebut adalah الحِجْر yang berarti lemah pikiran atau naik darah karena marah. Lebih lanjut lagi kata عَقَلَ mengandung arti memahami dan arti inilah yang banyak dipakai oleh ulama khususnya Indonesia dalam menerjemahkan al- Qur’an.
Nampaknya arti asli dari kata عقلadalah mengikat dan menahan dan orang aqil dizaman jahiliyah, yang dikenal dengan  الحَنِيَّة yang berarti darah panas, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution, kata عقلdizaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical Intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem – solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan masalah dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah.[5]
Walaupun demikian kata عقل mengandung makna mengerti, memahami, dan berfikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pertangertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala? Dalam al- Qur’an, sebagamana telah dijelaskan diatas oleh ayat 46 dari surat al- Hajj, pengertian pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya: Sesunggbanyak kami ciptakan bagi neraka banyak jindan manusia; mereka mempunyai kalbu yang dengannya mereka mereka tidak melihat dan mempunyai telinga yang dengannya mereka tidak mendengar; mereka seperti binatang bahkan lebih sesat lagi; merekalah orang yang lalai. (Q.S. Al- A’raf: 179).
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاء رَضُواْ بِأَن يَكُونُواْ مَعَ الْخَوَالِفِ وَطَبَعَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya: Jalan untuk menyalahkan hanyalah trehadap orang yang minta izin padamu dan mereka orang kaya; mereka ingin berada dengan orang- orang yang tinggal; Allah telah menutup kalbu mereka sehingga mereka tidak dapat mengetahui (Q.S. At-Taubah: 93).
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya: Tidaklah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah kalbu telah terkunci. (Q.S.Muhammad: 24).
Ayat-ayat Al-Qur’an maupun uraian kamus yang diberikan di atas tidak menyebut bahwa akal adalah daya pikir yang berpusat di kepala. Al-‘aql malahan dikatakan sama dengan al-qalb yang berpusat di dada.
            Profesor Izutzu kelihatannya mempunyai alasan ketika mengatakan bahwa kata al-‘aql masuk dalam falsafat Islam dan mengalami probahan dalam arti. Dengan masuknya pengaruh falsafat yunani kedalam pemikiran Islam, kata Yunani nous.[6] Dalam falsafah Yunani nous mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan demikianpemahaman dan pemikiran tidak lagimelalui al- qalb di dada tetapi melalui al- ‘aql di kepala.
            Tidak mengherangkan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs atau al- ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al—ruh berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk kedalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh.
            Al-kindi (796-873 M), filosof Islam pertama, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya bernafsu (العقل الشهوانية) yang berada di perut, daya berani (القوة الغضبية) yang bertempatt di dada dan daya berfikir (القوة الناطقة) yang berpusat di kepala. Ibn Miiskawaih (941-1030 M), memberi pembahagian yang sama. Daya terendah adalah daya bernafsu (النفس البهيمية) dan daya tertinggi adalah daya berfikir (النفس الناطقة) Daya berani (النفس السبعية) mengambil posisi di antara keduanya. Jelas bahwa dalam pemiikiran Al-kindi dan Ibn Miskawaih ini kelihatan pengaruh plato.[7]
            Filosof-filosof lain juga member pembahagian yang berbentuk tiga, tetapi sebagai aristoteles, mereka menyebut bukan tiga daya, tetapi tiga jiwa, yaitu jiwa tumbu-tumbuhan (al-nafs al-nabatiah)  jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniah), jiwa manusia (al-nafs al-insaniah), ketiga macam jiwa ini terdapat dalam diri manusia. Masing-masing jiwa mempunyai daya tertentu. Perincian terbaik adalah yang di berikan Ibn sina (980-1037 M).
            Jiwa tumbu-tumbuhan mempunyai tiga daya : 1) daya makan (al- ghaziah), 2) daya tumbuh (al- munmiah), dan 3) daya membiak  (al- muwallidah).  Jiwa binatang memiliki dua daya : 1) daya penggerak (al- muharrikah) dan 2) daya mencerap (al- mudrikah).
            Daya penggerak bisa berbentuk nafsu (al- syahwah) serta amarah, (al- ghadab) dan bisa pula berbentuk gerak tempat (al-harkah al-makaniah). Daya mencerap terbagi dua, pertama, daya mencerap dari luar melalui pancaindra lahir, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman,perasaan lidah dan perasaan tubuh; kedua, daya mencerap dari dalam mlalui pancaindra batin, yaitu:
1.      Indera bersama ( al- his al- musytarak), bertempat dibahagian depan dari otak dan berfungsi menerima kesan-kesan yang diperoleh dari pancaindera luar dan meneruskannya ke indera batin berikutnya.
2.      Indera penggambar (al- khayal ).  Juga bertempat dibahagian depan dari otak. Tugasnya ialah melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya.
3.      Indera pengreka (al- mutakhayyilah ), yang brtempat di bahagian tengah dari otak, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan  dari materi itu dengan memisah-misah dan kemudian memperhubungkannya satu dengan yang lain.
4.      Indera penganggap (al-wahmiah), juga bertempat dibahagian tengah dari otak, mempunyai fungsi menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran itu.
5.      Indera pengingat (al-hafizah), yang bertempat dibhagian belakang dari otak, menyimpan arti-arti yang ditangkap indera penganggap.
Jika jiwa tumbu-tumbuhan dan jiwa binatang mempunyai lebih dari satu daya,jiwa manusia hanya mempunyai daya berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
1.      Akal praktis (‘amaliah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang.
2.      Akal teoretis (‘alimah ) yang menangkap arti-arti murni, arti yang tak pernah ada dalam materi, seperti tuhan roh dan malaikat.
Akal peraktis mmutuskan prhatian pada alam materi, menangkap kekhususan ( juz’iat atau particulars). Akal teoretis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia imateri dan menangkap keumuman (kulliat atau universals).  
Akal praktis, jika dihubungkan dengan nafsu binatang, akan menimbulkan rasa malu, sedih, dan sebagainya. Jika dihubungkan dengan daya penganggap dari indra batin binatang ia akan memperbedakan apa yang baik dari apa yang rusak dan akan menghasilkan kecakapan mencipta dalam diri manusia. Jika dihubungkan dengan akal teoretis ia akan menimbulkan pendapat - pendapat masyhur, seperti” berdusta adalah tidak baik”, “bersikap tidak adil adalah buruk”. Akal praktis harus mengontrol dan memimpin jiwa binatang, dan kalau ia berhasil dalam tugasnya, manusia bersangkutan akan mempunyai budi pekerti luhur. Pada akal praktislah bergantung timbulnya kebajikan atau kejahatan pada diri kejahatang.
Akal teoretis mempunyai empat derajat:
1.      Akal materi (al-‘aql al-hayulani), yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti yang takpernah berada dalam materi, belum keluar.
2.      Akal bakat (al-‘aql bi al- malakah), yaitu akal yang kesanggupannya berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan. Ia telah dapat menangkap pengertian dan kaedah umum, seperti seluruh lebih besar dari bahagian.
3.      Akal aktuil (al-‘aql bi al-fi’l), yaitu akal yang telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaedah umumdimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
4.      Akal perolehan (al- aql al-mustafad), yaitu akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali.
Akal dalam derajat ke-empat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosof dan akal inilah yang dapat memahami alam murni abstrak yang tak pernah ada dalam materi. Akal prolehan yang telah yang bergelimang dalam keabstrakan inilah yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui Akal yang sepuluh. [8]
            Yang dimaksud dengan akal yang sepuluhnyalah Akal-akal yang diciptakan tuhan melalui pancaran dalam falsafah emanasi Al-farabi. Tuhan berfikir tentang dirinya ; pemikiran merupakan daya, dandayapemikiran Tuhan Maha kuasa yang besar dan hebat itu menciptakan akal pertama. Akal pertama berfikir pula tentang Tuhan dan tentang dirinya sendiri; daya ini menghasilkan Akal kedua berfikir pula tentangtuhan dan tentang dirinya sendiri dan menghasilkan Akal ketiga dan bintang-bintang. Demikianlah seterusnya tiap akal berfikir tentang tuhan dan dirinyasendiri dan menghasilkan akal dan planet. Pemikiran akal ketiga menghasilkan akal keempat dan saturnus. Akal keempat menghasilkan akalkelima danyupiter. Akal kelima menghasilkan akal keenam dan mars. Akal keenam menghasilkan akal ketujuh dan matahari. Akal ketujuh menghasilkan Akal kedelapan Venus. Akal kedelapan menghasilkan akal kesembilan dan markuri. Akal kesembilan menghasilkan Akal kesepuluh dan dan bulan. Daya pemikiran akal kesepuluh sudah lemah untuk dapat menghasiklan Akal sejenisnya dan hanya sanggup menghasilkan Bumi. Tiap-tiap Akal yang berjumlah sepuluh itu mengatur pelanetnya masing-masing. Akal-akal ini adalah malaikat dengan Akal kesepuluh merupakan jibril yang mengatur bumi. Perlu diingat di sini bahwa falsafat emanasi disesuaikan dengan ilmu astronomi yang ada dizaman al- Farabi.
Kalau yang diurikan di atas adalah akala dalam pendapat kaum filosof Islam, maka kaum teolog islam mengartikan Akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu al-huzail Akal adalah “daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseoarang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda lain dan antara benda-benda satu dari yang lain”. Akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap pancaindra.
Di samping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk memperbedakan antara kebaikan dan kejahatan. Akal, dengan kata lain, terutama bagi kaum mu’tazilah, mempunyai fungsi dan tugas moral. Sejalan dengan ini L. Gardet dan M.M Anas watimenerangkan bahwa akal, dalampendapat mu’tazilah, adalah “ petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta”.
            Akal, dalam pengertian Islam, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; yang sebagai digambarkan dalam Al-Quur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan Alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan, dari luar diri manusia yaitu dari Tuhan.          






Pendapat penulis
Dalam al- Qur’an kata العقل disebutkan dalam bentuk term fi’il bukan dalam bentuk term isim. Menurut ulama bahasa term Fi’il maknanya terputus atau terikat dengan waktu (للإنقطع), sedangkan Isim tidak terikat oleh waktu dan tempat atau maknanya berkesinambungan (للإستمرار). Dengan demikian, bagaimanapun hebatnya akal pikiran manusia pasti memiliki keterbasan dan kebenaran yang dihasilkannya tidak mutlak atau relatif. Makannya, si A mengemukakan pendapatnya dan ia meyakini akan kebenarannya tapi si B belum tentu akan sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh si A. Sedang si B, pasti mengatakan benar apa yang ia kemukakan. Inilah kebenaran akal sebagaimana yang diindikasikan oleh al- Qur’an dengan menggunakan term Fi’il. وما أوتيت من العلم الا قليلا   “tidaklah Aku berikan (kepada manusia) ilmu kecuali sedikit”. (al- Ayat).

والله اعلم
    









[1]Muhammad Fuad A’bdul Baqi, Mu’jam al- Mufahras Li Alfazhi al- Qur’an al- Karim, h. 594
[2] Ibid, h. 594-595
[3] Ibid, h. 595
[4] Ibid, h. 595
[5] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, h. 7
[6] Ibid, h. 8
[7] Ibid, h. 9
[8] Isa Al- Babi Al- Halabi, Amwal Al- Nafs, h. 145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar