Total Tayangan Halaman

Rabu, 24 November 2010

Hukum Membaca Sayyidina

HUKUM MEMBACA SAYYIDINA
Oleh: Buhari Muslim
(Mahasiswa Tafsir Hadis Khusus)
Para ulama  terdahulu telah berbeda pendapat mengenai hukum membaca Sayyidina ketika bersalawat kepada Nabi saw. Padahal dari segi kedalaman ilmu, tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad mereka. Dan tentunya juga menghargai orang yang mengikuti fatwa mereka, di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.
Adapun shalawat yang diajarkan oleh Nabi saw. ketika sahabat menanyakan cara bershalawat kepada beliau. Sebagaimana digambarkan dalam hadis riwayat Muslim berikut;
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّىَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُولُوا  اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.                                     
Artinya: Dari Abu Mas’ud al- Anshari ia berkata; Rasulullah saw. mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah swt. Memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?. Abu Mas’ud al- Anshari berkata; Rasulullah saw. diam sehingga….kemudian Rasulullah saw. bersabda; Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.       
Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.
A.    Dasar Hukum Dari Al- Qur’an
Dalam al- Qur’an Allah swt. melarang memanggil Rasul saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذاً فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ .
Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.           (QS. al- Nur: 63).
Kata kamu dalam ayat di atas adalah ditunjukkan kepada sahabat Nabi Muhammad saw., ayat tersebut dapat kita tafsirkan bahwa jangan kamu memanggilkan Nabi Muhammad saw. sama dengan kamu memanggil temanmu.
Mujahid dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.
Dalam surah yang lain Allah swt. menyebut Nabi Yahya dengan Sayyid (menjadi ikutan), firman Allah;
فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَـى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيّاً مِّنَ الصَّالِحِينَ                                       
Artinya: Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariyah, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di Mihrab; (katanya), “sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat[1] (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang shaleh”. (QS. Ali Imran: 39).
Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as. dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad saw. juga sangat pantas mendapat gelar itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. di hari kiamat bahkan beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Karenanya warga An Nahdlah menggunakan kata Sayyidina dalam shalawatnya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.
B.     Dasar Hukum Dari Hadis
1.      Hadis Dari Rifa’ah bin Rafi’
Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat-kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ .
Artinya: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.
a.      Menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur (yang tidak berasal dari Nabi saw.) di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi saw).
b.      Boleh mengeraskan suara zikir selama tidak mengganggu orang yang ada di dekatnya.
c.      Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan               al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh.[2]
Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat. Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak bertentangan sama sekali. Dalam hadis shahih Nabi saw. bersabda;
انَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ .        
Artinya: Saya adalah pemimpinnya manusia pada hari kiamat.               (HR. Bukhari, Muslim dan al- Tirmidzi).
2.      Penambahan Lafaz Talbiyah
Umar bin al- Khaththab ra. menambahkan lafaz talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Adapun talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. adalah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
Namun, Umar ra.  menambahkan, sebagai berikut;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِى يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Dalam riwayat al- Nasai bahwa Ibn Umar menambahkan sebagaimana lafaz yang tertera di atas.
3.      Penambahan Lafaz Tahiyat
            Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat dalam shalatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya.
Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah;
...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….

…Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).                                                                                                      
Hadis kedua dan ketiga di atas menunjukkan kebolehan munyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan syari’at.
C.    Dasar  Hukum Dari Dalil Aqli
Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود) jika Dimuta’addikan,[3] menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin. Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi saw. maka itu sama halnya dengan; memuliakan,  menghormati dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu kesalahan?. Semua umat Islam mungkin akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas untuk dilakukan yaitu mengawali nama Rasulullah saw. dengan kata Sayyid.
Adapun dengan hadis yang mengatakan bahwa,
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ .
Artinya: Janganlah mensayyidkan aku dalam shalat.            
Hadis tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqhi di antaranya dalam kitab al- Fatawa al- Fiqhiyyah al- Kubra (الفتاوى الفقهية الكبرى) , bab, Shifatu al- Shalah (صفة الصلاة). Tapi, Ulama telah mengomentari bahwa hadis tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’ atau palsu. Salah satu alasanya adalah  karena hadis tersebut mengandung Lahn,[4] lafaz Latusayyiduni (لا تسيدونى), menyalahi kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا تسودونى). Sedangkan Nabi saw. sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafaz yang salah (mengandung lahn).
Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina sebelum nama Nabi saw. adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu merupakan adab kesosopanan terhadap Rasulullah saw. bahkan ini adalah pendapat yang telah diakui dan dipercayai.
Dalam adab kita sendiri rasanya sangat jauh dari tata kesopanan jika memanggil orang-orang yang terhormat dengan panggilan tanpa diikut sertakan dengan gelarnya atau panggilan penghormatan menurut adat setempat. Misalnya, Daeng menurut adat Makassar, Puang menurut adat Bugis, kiai bagi ulama menurut adat Jawa dan lain-lain.
Wallahu A’alam



[1] Maksudnya membenarkan kedatangan seorang Nabi yang diciptakan dengan kalimat Kun (jadilah) tanpa bapak, yaitu Nabi Isa as.
[2] Ibn Hajar, Fathu al- Bari, jild. II, h. 287
[3] Dalam bahasa Arab Fi’il (kata kerja) terbagi dua a. Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. b. Fi’il Muta’addi adalah Fi’il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
[4] Mengandung Lahn maksudnya menyalahi kaidah sharaf yang telah dikenal oleh orang Arab .

27 komentar:

  1. Singgah di Blog Saya......

    http://ahmadsudaisih.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Assalamu alaikum Ustadz,
    bagaimana dengan pemakaian sayyidina untuk penyebutan para sahabat seperti sayyidina Umar, sayyidina ali, sayyidina abu bakar, dll ? apakah sayyidina Muhammad akan mensejajarkannya ? Mungkin lebih baik Muhammad Rasullullah shallallahu alaihi wasallam, menunjukkan Rasul Alloh, lebih tinggi kedudukannya dari para sahabat?
    Jazakillah Khoir

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nabi Muhammad juga dipanggil oleh para sahabat dengan panggilan ABU QOSIM ( bapaknya Qosim ) , SAW adalah gelar bukan sebutan ketika seseorang memanggil orang lain ,, di Indonesia orang memanggil dengan sebutan "Pak" , "Mang" ,"Tuan", "Ingkang Sinuhun","Mamas" , ,,, mereka tidak memanggil gelarnya . Dalam budaya Arab hal itu sedikit berbeda tapi tidak perlu diperdebatkan.

      Hapus
  3. Bantu jawab aja untuk heri.
    Sayyidina ini bukan panggilan sakral yang hanya ditujukan ke ada nabi dan rasul saja.
    Jadi sahabat dan orang2 tertentu boleh saja menerimanya. Seperti misalnya pemimpin.
    Wallahu alam.

    BalasHapus
  4. Berdasarkan keterangan diatas, mengapa kita tidak menambahkan kata sayyidina juga pada " syahadatain", pada panggilan adzan, dan pada setiap kata muhammad yg dilagukan dlm barjanzi..ada ke-tidakkonsisten-an dlm penerapan, bila logika diatas dpt dibenarkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Demikian pula mengapa kita tidak menambahkan SWT di depan "syahadatain" ,dan lain lain ?

      Hapus
    2. Pertanyaan yang super bagus. Sejak pertama kali Adzan dikumandangkan oleh Bilal bin Rabbah, kata Sayyidina tidak pernah diucapkan dalam Adzan.

      Hapus
  5. Menggunakan lafadz sayyidina selain tasyahud dan doa sesudah adzan maka tidaklah mengapa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
    أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر
    “Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat maka janganlah berbangga diri.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Islam telah sempurna jgn ditambah jgn dikurang.. Diluar solat silahkan pakai sayyidina. Tp kalau dlm solat ikuti tuntunannya. Apakah kita lbh baik dr para sahabat? Sami'na wa ato'na..

      Hapus
  6. Ikuti aja yang di ajarkan rasul, kalo rasul mengajarkan pakai, yanpakai, klw tdk ya tdk, lebih aman kan.. misalnya rasul mengajarkan sebelum memulai sholat tdk ada perkataan apapun selain takbir, maka ikutin aja ga usah pake usholi2 an, karena rasul ga ngajarin.

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Demikianlah, ternyata para ulama di masa lalu telah berbeda pendapat. Padahal dari segi kedalaman ilmu, nyaris hari ini tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab merekahanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama sekaliber fuqaha mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.

    Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad itu. Dan tentunya juga menghargai mereka yang menggunakan fatwa itu di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.

    Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
    Ahmad Sarwat, Lc.

    BalasHapus
  9. biar tidak ada perdebatan, mari kita ikuti nabi kita.... yakin saja islam sudah sempurna.... kalau nabi baca a ya a kalau b ya b. kalau masih mau ikut ulama.... insya allah mereka semua jelas... sahabat kita lihat shalawatnya pakai saidina atau tidak, tabiin shalawatnya pakai atau tidak?, maliki, syafii, hambali... baca atau tidak? kalau ada ulama sekarang pakai, ya kita cukup tau saja rupanya masih ada orang yg lebih pintar dari nabi,sahabat, dan imam yg 4.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  11. biar tidak ada perdebatan, mari kita ikuti nabi kita.... yakin saja islam sudah sempurna.... kalau nabi baca a ya a kalau b ya b. kalau masih mau ikut ulama.... insya allah mereka semua jelas... sahabat lihat shalawatnya pakai saidina atau tidak, tabiin shalawatnya pakai atau tidak?, maliki, syafii, hambali... baca atau tidak? kalau ada ulama sekarang pakai, ya kita cukup tau saja rupanya masih ada orang yg lebih pintar dari nabi,sahabat, dan imam yg 4.

    BalasHapus
  12. biar tidak ada perdebatan, mari kita ikuti nabi kita.... yakin saja islam sudah sempurna.... kalau nabi baca a ya a kalau b ya b. kalau masih mau ikut ulama.... insya allah mereka semua jelas... sahabat lihat shalawatnya pakai saidina atau tidak, tabiin shalawatnya pakai atau tidak?, maliki, syafii, hambali... baca atau tidak? kalau ada ulama sekarang pakai, ya kita cukup tau saja rupanya masih ada orang yg lebih pintar dari nabi,sahabat, dan imam yg 4.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagaimana dg kehidupanmu..benarkah kamu menjalankan syariat sudah dengan konsisten...Alloh maha tahu setiap diri seseorang

      Hapus
  13. Dalam aturan tatakrama anak muda memanggil orang yg lebih tua dengan kakak.abang mas..anak kepada orang tua memanggil ayah..bpk..abah..ibu..istri memanggil suami..kakanda..kakang mas..cucu memanggil kakek abah..nenek..kakek..opa oma..dan ini adalah ethika g usah pake dalil..memang betul Rasulullah g ingin diagungkan karena kedudukannya mulia..malaikat saja hormat kepada nabi..apalagi kita mskhluk yg penuh dosa ..dimana adab kita kepada Nabi..Sayyidina..wa maulana..wa dzurina..wa habibina..sayyidina Muhammad saw..sekarang ente ente yg g mau pake sayyidina gpp..tp jangan marah klo anak manggil bapaknya dengan nama sebutan yg tidak santun

    BalasHapus
    Balasan
    1. sipppppp bener bsnget..
      sayyidina itu kehormatan,,dn rasa cinta srta adat kesopanan.krna kita slalu di ajari kesopan santunan,apalgi utk rasulullah,,,karena rasulullah adalah pimpinan umat islam.

      Hapus
    2. Ini bukan masalah kesopanan tapi ini masalah agama bacaan doa dalam sholat yg memang sudah di atur oleh Alloh dan nabi di hadistnya masa kita mau akalin sih dgn menurut pendapat ini itu..

      Hapus
    3. Galih venezio
      Siahkan cari hadist yang lain...jngan satu sumber saja,,bagaimana dengan sahabat Nabi Umar r.a yang menambahkan dalam kata dalam tahiyad....
      Umar berkata : saya menambahkan kata.....Wahdahu la syarikalah.... (HR ABU DAUD)...
      Apakah Nabi melarangnya.......tidak selama tidak bertentangan dengan syariat islam.......jadi boleh saja menyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak brtentangam dengan syariat islam......ini adalah ijtihad para ulama......dan ini adalah masalah agama yg di lakukan sahabat umar r.a.......

      Hapus
  14. Saya Orank Islam Yank Sangat Berpegank Teguh Pada Al Qur'an Dan Hadits, Saya Tidak Berpihak Kepada Muhammadiyah AtauPun NU , Tapi Saya Hanya Memihak Kepada Yank Benar, Tentunya Al Qur'an Saya Letakan Pada Bagian Teratas Dg Hadits , Karena Al Qur'an Adalah Firman ALLOH SWT Bukan Perkataan Manusia Itu Artinya Saya Tidak Menggunakan Sayyidina Dalam BerSholawat , Ini Bukan Berarti Saya Tidak Menghormati Nabi Muhammad Sebagai Junjungan Kami Melainkan Karna Kami Tidak Menemukan Kata Sayyidina Muhammad Dalam Al Qur'an Kalau ALLOH SWT Saja Tidak Kenapa Qita Sebagai Manusia Yank DiCiptakan Harus Iya , Kalau Penulis Menemui Kata Sayyidina Muhammad Dalam Al Qur'an Tolonk Beritahu Saya Di Surah Apa Ayat Berapa ?
    Terima Kasih Sebelumnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. benarkah...orang yg berpegang teguh tidak harus di gembar gemborkan,cukup di jalankan

      Hapus
  15. sepertinya banyak memalsukan terjemahan sholat sebagaimana aku sholat padahal yang betul sholat sebagaimana kalian lihat aku sholat. Di sini melibatkan cara pandang yang artinya tidak meniru persis seperti nabi. Bahkan iftitah saja Abubakar Sidiq tidak bisa sama dengan nabi

    BalasHapus
  16. Semua nadzab mengikuti nabi SAW... pilihkah salah satu madzab..

    BalasHapus
  17. Sebagai Ummat Muhammad (Pengikut Muhammad), tentunya kita harus mengikuti apapun yang tuntunkan oleh Rasulullah Sallallohu Alaihi Wasallam. Jangan menambah atau mengurangi. Jangan menciptakan hukum sendiri. Karena hasil pemikiran manusia, tidak bisa dijadikan dasar hukum Ajaran Agama. Mohon maaf jika salah.

    BalasHapus